Siapakah yang tak mengenal Piagam Madinah ? banyak diantara kita yang sudah tahu setidak2nya telah mendengar apa itu piagam madinah, termasuk murid mengaji sepertinya telah cukup tahu apa itu Piagam Madinah, setidaknya pernah mendengarnya dari kisah-kisah ataupun wejangan-wejangan sang ustadz. Piagam Madinah merupakan suatu nama yang diatributkan pada perjanjian tertulis yang disepakati antara Rasullullah SAW sebagai pemimpin besar umat Islam, yang saat itu baru saja tiba di Madinah (Yatsrib), dengan para petinggi kaum Yahudi yang faktualnya merupakan penduduk mayoritas disana disamping berbagai macam aliran aqidah lain yang minoritas. Kurang lebih, demikianlah Piagam Madinah kala itu, sebuah perjanjian yang memiliki arti dan peranan besar bagi kelangsungan hidup Umat Islam yang baru akan memulai babak baru fase perjuangan mereka. Perjanjian tersebut diantaranya mengatur bagaimana seharusnya sebuah komunitas yang satu dalam suatu wadah yang bernama Yatsrib dapat menyikapi berbagai perbedaan yang mereka miliki, dan kemudian bersinergi secara harmonis dan konstruktif dalam menjaga keamanan, kestabilan serta tentunya kemakmuran negeri Yatsrib. Diantara perbedaan yang sangat kentara adalah dalam hal aqidah atau keyakinan, sesuatu yang sampai sekarang ini oleh sebagian kalangan masih dianggap sebagai akar berbagai permasalahan sosial yang terjadi di pelosok dunia, terlebih Indonesia.
Memang opini seperti ini cukup dapat diwajari keberadaannya, mengingat telah banyaknya terjadi kekacauan dan anarkhisme sosial yang bernuansa SARA, seperti tragedi Tanjung Priuk, Ambon, Poso, Sampit, sampai peristiwa Bom Bali sekalipun dengan kuatnya pengaruh media dapat dikategorikan kasus SARA.
Piagam madinah adalah awal dari terbentuknya Negara Madinah, dimana Negara inilah yang hingga saat ini masih menjadi rujukan paling sahih bagi perjuangan politik umat Islam, ternyata masih belum cukup memenuhi kreterium bagi sebuah negara modern. Pasalnya, dalam Negara Madinah belum terpenuhi elemen-elemen utama yang menjadi prasyarat dalam negara modern. Seperti, belum mempunyai tentara yang profesional, belum mempunyai penjara, belum mewajibkan pajak.
Yang lebih signifikan dari semua itu adalah pimpinannya seorang nabi yang diutus, dibimbing dan dibenarkan semua ijtihadnya oleh wahyu. Segala sesuatunya diputuskan dengan hukum yang diturunkan oleh Allah. Hal ini tidak mungkin ditemukan di negara-negara lain. Artinya, menurut Jalam Albana, sebuah kesalahan fatal bila “Negara Madinah” dengan barbagai modelnya dikatakan sebagai pendirian negara (Islam).
Konsep Negara Madinah, boleh dibilang merupakan eksprimen sejarah yang dilakukan Rasulullah di saat kondisi menuntut beliau untuk menerima jabatan dalam memimpin masyarakat dalam suatu negara. Dan eksprimen itu, mulai redup di saat Rasul wafat, yang kemudian berakhir pada masa kekhalifahaan Umar. Meskipun upaya politik tersebut diteruskan di masa Al-khulafa ar Rasyidun, hal itu tidak bertahan lama.
Dua khalifah pertama (Abu Bakar dan Umar), tidak lebih menjadi perantara bagi rentang waktu antara “kerakhmatan pemerintahan Nabi” dan “kelaliman raja-raja otoriter”. Kalau masa kekhalifahan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Tholib menjadi awal bagi konteks pergeseran politik “kerahmatan Islam’ ke pentas “perebutan kekuasaan”, maka masa-masa selanjutnya adalah praktek kekuasaan monarki oleh raja-raja otoriter. Bahkan, sejarah kekuasaan dan suksesi kepemimpinan Al-khulafa ar Rasyidun selalu diselimuti konflik yang berdarah-darah.
Hal ini terbukti betapa eksprimen pendirian negara Islam selalu gagal di implementasikan. Ini wajar karena “Negara Madinah” masa Rasulullah adalah negara yang sangat spesifik sekali yang di dalamnya terdapat karakteristik yang istimewah. Apalagi motifasi pendirian negara Islam tidak didasarkan pada prinsip-prinsip Islam sesunguhnya, akan tetapi lebih didasarkan pada emosi, perang, kekuasaan, perebutan sumberdaya alam, dan perbudakan rakyat
Su’udiyah, Aljazair, Sudan, Turki dan Iran adalah beberapa catatan negara yang gagal dalam melakukan eksprimen pendirian negara. Bahkan, di dalamnya bisa dikatakan hampir lebih bobrok dari sistem politik di Eropa dan Amerika. Sebab, di situ terdapat penindasan, pengekangan kebebasan, penjara, krisis ekonomi, inflasi, kemiskinan, ketiadaan oposisi politik, memenjara orang-orang yang dianggap bersebrangan dan mempraktekkan cara-cara penyiksaan.
Apa yang terjadi di berbagai belahan dunia harus menjadi refleksi bersama tentang kenyataan tersebut. Fakta sejarah dunia muslim telah mencatat bahwa ketika konsep negara telah dijadikan ideologi dalam negara, baik secara progresif maupun tidak, umat harus menerima konsekwensinya.
Sebagai contoh, pemerintahan Bani Umayyah dan Abbasiyah (kecuali kehalifahan Umar bin Abdul Aziz) yang melandaskan pada konsep teokrasi (Islam) justru dikenal dengan pemerintahan yang dispotik dan hegeminik. Agama pada masa itu cenderung dijadikan alat legitimasi kekuasaan bagi kelompok tertentu.
Sejarah juga membuktikan bahwa perusakan yang dilakukan kekuasaan tidak hanya terhadap akidah Islam, akan tetapi juga menghancurkan dan merusak semua akidah yang mempunyai nilai-nilai dan ide-ide yang luhur. Misalnya, bagaimana kekuasaan telah merusak paham Syiah Al-Alawiyah menjadi paham Syiah Safawy. Bagaimana kekuasaan merusak agama Kristen dari sebuah agama kasih sayang menjadi sebuah “Institusi Inkuisisi”. Bagaimana kekuasaan merusak agama Yahudi dan menjadi zionisme. Dan bagaimana kekuasaan merusak sosialisme dan menjadi pemerintahan totaliter.
Begitu juga yang terjadi di dunia sekuler. Kita melihat apa yang terjadi di Turki dengan pemerintahan sekulernya, Jerman dengan demokrasi nazinya dan atau Amerika dengan rasialisme. Semua itu adalah bukti cacat sejarah dalam praktek politik kenegaraan.
Karena itu, kekuasaan (apapun ideologinya) jika tidak memihak pada umat dan hanya menjadikannya sebagai alat pengendalian dan penindasan, maka ia tidak akan mampu membangkitkan misi dakwah dan atau memperjuangkan penerapan nilai-nilai agama. Karena sesungguhnya kekuasaan (baca: negara) hadir untuk memberikan keadilan dan mensejahterakan bagi masyarakatnya.
Sementara, perjuangan menegakkan syariat dikhawatirkan justru akan menjadikan agama sebagai alat legitimasi politik belaka. Setidaknya, kita tidak lagi terjebak pada perdebatan-perdebatan sempit yang mengarah pada hal-hal yang sifatnya distorsif.
lampiran piagam madinah
PIAGAM MADINAH
- Sesungguhnya mereka satu umat, lain dari (komunitas) manusia yang lain
- Kaum Muhajirin dari Quraysh sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu membahu membayar diyat di antara mereka dan mereka membayar tebusan tawanan dengan cara baik dan adil di antara mukmin.
- Banu ‘Awf, sesuai dengan (kebiasaan) mereka, bahu membahu membayar diyat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukmin.
- Banu Sa’idah, sesuai dengan (kebiasaan) mereka, bahu membahu membayar diyat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukmin.
- Banu Al Hars, sesuai dengan (kebiasaan) mereka, bahu membahu membayar diyat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin.
- Banu Jusham, sesuai dengan (kebiasaan) mereka, bahu membahu membayar diyat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin.
- Banu Al Najjar, sesuai dengan (kebiasaan) mereka, bahu membahu membayar diyat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin.
- Banu Amr bin Awf, sesuai dengan (kebiasaan) mereka, bahu membahu membayar diyat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin.
- Banu Al Nabit, sesuai dengan (kebiasaan) mereka, bahu membahu membayar diyat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin.
- Banu Al-Aws, sesuai dengan (kebiasaan) mereka, bahu membahu membayar diyat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin.
- Sesungguhnya mukminin tidak boleh membiarkan orang yang berat menanggung utang di antara mereka, tetapi membantunya dengan baik dalam pembayaran tebusan dan diyat.
- Seorang mukmin tidak boleh membuat persekutuan dengan sekutu mukmin lainnya, tanpa persetujuan daripadanya.
- Orang-orang mukmin yang taqwa harus menentang orang yang di antara mereka mencari atau menuntut sesuatu secara zalim, jahat, melakukan permusuhan atau kerusakan di kalangan mukminin. Kekuatan mereka bersatu dalam menentangnya, sekalipun ia anak dari salah seorang di antara mereka.
- Seorang mukmin tidak boleh membunuh orang beriman lainnya lantaran (membunuh) orang kafir. Tidak boleh pula orang mukmin membantu orang kafir untuk (membunuh) orang beriman.
- Jaminan Allah satu. Jaminan (perlindungan) diberikan oleh mereka yang dekat. Sesungguhnya mukminin itu saling membantu, tidak tergantung pada golongan lain.
- Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan, sepanjang (mukminin) tidak dizalimi dan ditentang (olehnya).
- Perdamaian mukminin adalah satu. Seorang mukmin tidak boleh membuat perdamaian tanpa ikut serta mukmin lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Allah, kecuali atas dasar kesamaan dan keadilan di antara mereka.
- Setiap pasukan yang berperang bersama kita harus bahu membahu satu sama lain.
- Orang-orang mukmin itu membalas pembunuh mukmin lainnya dalam peperangan di jalan Allah. Orang-orang beriman dan bertaqwa berada pada petunjuk yang terbaik dan lurus.
- Orang Musrik (Yathrib) di larang melindungi harta dan jiwa orang Musrik (Quraysh), dan tidak boleh campur tangan melawan orang beriman.
- Barangsiapa membunuh orang beriman dan cukup bukti atas perbuatannya, harus dihukum bunuh, kecuali wali si terbunuh rela (menerima diyat). Segenap orang beriman harus bersatu dalam menghukumnya.
- Tidak dibenarkan bagi orang mukmin yang mengakui piagam ini, percaya kepada Allah dan Hari akhir, untuk membantu pembunuh dan memberi tempat kediaman kepadanya. Siapa yang memberi bantuan dan menyediakan tempat tinggal bagi pelanggar itu, akan mendapat kutukan dan kemurkaan Allah di Hari Qiyamat, dan tidak diterima daripadanya penyesalan dan tebusannya.
- Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, penyelelesaiannya menurut (ketentuan) Allah Azza wa Jalla dan (keputusan) Muhammad SAW
- Kaum yahudi memikul biaya bersama mukminin dalam peperangan.
- Kaum Yahudi dan Bani Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum Muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka. Kecuali bagi yang zalaim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarganya.
- Kaum Yahudi Banu Najjar diperlakukan sama seperti Yahudi Bani Awf.
- Kaum Yahudi Banu Hars diperlakukan sama seperti Yahudi Bani Awf.
- Kaum Yahudi Banu Saidah diperlakukan sama seperti Yahudi Bani Awf.
- Kaum Yahudi Banu Jusham diperlakukan sama seperti Yahudi Bani Awf.
- Kaum Yahudi Banu Al Aws diperlakukan sama seperti Yahudi Bani Awf.
- Kaum Yahudi Banu Tha’labah diperlakukan sama seperti Yahudi Bani Awf. Kecuali orang zalim atau khianat. Hukuman hanya menimpa diri dan keluarganya.
- Suku Jafnah dari Tha’labah diperlakukan sama seperti mereka (Banu Tha’labah).
- Banu Shutaybah (diperlakukan) sama seperti Yahudi Bani Awf. Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu lain dari kejahatan (khianat).
- Sekutu-sekutu Tha’labah diperlakukan sama seperti mereka (Banu Tha’labah).
- Kerabay Yahudi (di luar kota Madinah) sama seperti mereka (yahudi
- Tidak seorangpun diperkenankan keluar (untuk perang) kecuali seizin Muhammad SAW. Ia tidak boleh dihalangi (menuntut balas) luka (yang dibuat orang lain). Siapa yang berbuat jahat (membunuh), maka balasan kejahatan itu akan menimpa diri dan keluarganya, kecuali ia teraniaya. Sesungguhnya Allah sangat membenarkan ketentuan ini.
- Bagi kaum yahudi ada kewajiban biaya, dan bagi kaum Muslimin ada kewajiban biaya. Mereka (yahudi dan Muslimin) bantu membantu dalam menghadapi musuh warga piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasehat. Memenuhi janji lawan dari khianat. Seorang tidak menanggung hukuman akibat (kesalahan) sekutunya. Pembelaan diberikan kepada pihak yang teraniaya.
- Kaum Yahudi memikul biaya bersama Mukminin selama dalam peperangan.
- Sesungguhnya Yathrib itu tanahnya “haram” (suci) bagi warga piagam ini.
- Orang yang mendapat jaminan (diperlakukan) seperti diri penjamin, sepanjang tidak bertindak meugikan dan tidak khianat.
- Tidak boleh jaminan diberikan, kecuali seizin ahlinya.
- Bila terjadi sesuatu atau perselisihan di antara pendukung piagam ini, yang dikhawatirkan menimbulkan bahaya, diserahkan penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah Azza wa Jalla dan (keputusan) Muhammad SAW.
- Sesungguhnya tidak ada jaminan perlindungan bagi Quraysh (Mekkah) dan juga bagi pendukung mereka.
- Mereka (pendukung piagam) bahu membahu dalam menghadapi penyerang kota Yathrib.
- Apabila mereka (pendukung piagam) diajak berdamai dan mereka (pihak lawan) memenuhi perdamaian serta melaksanakan perdamaian itu, maka perdamaian itu wajib dipatuhi. Jika mereka diajak berdamai seperti itu, kaum Mukminin wajib memenuhi ajakan dan melaksanakan perdamian itu, kecuali terhadap orang yang meyerang agama. Setiap orang wajib melaksanakan (kewajiban) masing-masing sesuai tugasnya.
- Kaum Yahudi Al Aws, sekutu dan diri mereka memiliki hak dan kewajiban seperti kelompok lain pendukung piagam ini, dengan perlakuan yang baik dan penuh dari semua pendukung piagam ini. Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu berbda dari kejahatan (penghianatan). Setiap orang bertanggungjawab atas perbuatannya. Sesungguhnya Allah paling membenarkan dan memandang baik isi piagam ini.
- Sesungguhnya piagam ini tidak membela orang zalim dan khianat. Orang yang keluar (bepergian) aman, dan orang yang berada di Madinah aman, kecuali orang yang zalim dan khianat. Allah adalah penjamin orang yang baik dan taqwa besama Muhammad SAW
Catatan :
Teks Piagam Madinah di atas mengikuti versi Ibn Hisyam, Syafi Al Rahman Al Mubarak Fawri, Muhammad Hamidullah, dan Muhammad Mamduh Al arabi sementara terjemahnya mengikuti Ahmad Sukardja dalam disertasinya yang dibukukan menjadi Piagam Madinah dan Undang-Undang 1945: Kajian Perbandingan dasar hidup Bersama dalam Masyarakat yang majemuk (Jakarta: UI Press, 1995), 47-57.
c' es
Sumber :
http://www.andriyarusman.com/pancasila-%E2%80%9Cpiagam-madinah%E2%80%9D-ala-indonesia/
http://www.ruangbaca.com/resensi/?action=b3Blbg==&linkto=MTA3.&when=MjAwNTEyMjk=